Nasihat Bagi yang Belajar: Mengenang H. Mukhlis Mubarrok Dalimunthe, Lc., M.S.I Monday, 18 July 2022 16:50

Nasihat Bagi yang Belajar: Mengenang H. Mukhlis Mubarrok Dalimunthe, Lc., M.S.I

Ba’da Isya, Jum’at 15 Juli 2022. Mobil pesantren yang mengantarkan kami ke rumah duka H. Mukhlis Mubarrok Dalimunthe, Lc., M.S.I berhenti. Suasana sudah ramai oleh pelayat. Keluarga, saudara, tetangga, sahabat, kenalan, rekan, hingga murid-murid almarhum juga sudah hadir. Jenazah yang dilepas dari Rumah Sakit Mitra Sejati Medan, di siang hari sebelum jum’atan, memang lebih dulu tiba ketimbang kami, yang karena beberapa sebab, hampir saja terlambat. Kami menjadi kelompok terakhir yang menyalatkan beliau sebelum dikafani sempurna dan diantarkan ke pembaringan terakhirnya; pemakaman keluarga di desa Gunung Selamat, tempat persulukan yang didirikan oleh tuan guru Syekh Ibrahim Dalimunthe, 1930an.


Di mata kami, Ustadz Mukhlis, begitu kami sering memanggilnya, memang cenderung tampil bersahaja meskipun ada banyak yang istimewa dalam dirinya. Orangnya akrab, suka tersenyum dan sering menyapa. Badannya tambun, tingginya menjulang, membuatnya sangat mudah ditemukan meski di keramaian. Sehari-hari, bersama kami, dia adalah pembantu ketua I bidang akademik dan perkuliahan di STIT Ar-Raudlatul Hasanah Medan. Selain itu, yang kami ketahui, dia adalah ketua harian OIAA, organisasi internasionalnya alumni Al-Azhar University Cabang Indonesia Kantor Sumatera Utara Paruh Waktu Periode 2018-2022. Dirinya yang lahir pada 10/10/1980, telah menghembuskan nafas terakhir pada 15/07/2022, di usia 41 tahun, 9 bulan, 5 hari. Meninggalkan satu orang istri, dan tiga orang anak; dua putra satu putri.


Tulisan ini bermaksud merekam beberapa ingatan terkait dengan dirinya, agar menjadi pelajaran terkhusus bagi mereka-mereka yang sedang belajar.


Ghirah Mempelajari Hal Baru


Penulis mengenal beliau pertama kali setelah dirinya menjadi guru di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah Medan. Saat itu, dirinya adalah bagian dari yang mengurusi silabus di Bidang Penelitian dan Pengembangan. Latar belakang keilmuannya yang mengarah kepada kulliyah al-syar’iyyah wa al-qânun sebagaimana yang menjadi konsentrasinya di Al-Azhar Kairo (S1) dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (S2) tidak menjadi masalah baginya untuk mendalami ilmu Balaghah sebagai materi yang diajarkan. Penulis menyangka bekal kemampuan berbahasa Arab sebagai alumni Timur Tengah yang membuatnya mampu beradaptasi. Nyatanya, dalam satu pembicaraan, dirinya mempelajari ilmu tersebut sedari sampul-sampul awal, yaitu dengan mengenal lebih dulu lewat buku-buku berbahasa Indonesia hingga kemudian menguasainya dan acapkali mengaplikasikan dalam lantunan syair-syair berbahasa Arab di beberapa momentum dan acara pesantren. Bahkan, dalam perjalanan empat tahun lebih dirinya menjadi dosen tetap di STIT Ar-Raudlatul Hasanah Medan, mata kuliah Balaghah menjadi mata kuliah yang diampunya bersama dengan tarjamah, istima’, dan tentunya fiqih dan usul fiqih. Ketekunannya dalam belajar menjadi pancaran ghirahnya meski untuk hal-hal yang baru sekalipun.


Terkait dengan itu juga, di awal-awal kebersamaan kami di kantor yang sama, penulis memerhatikan bagaimana upayanya belajar mengoperasikan aplikasi powerpoint sebagai media untuk memetakan materi dan konten yang akan diajarkan. Banyak slide yang dikreasinya sendiri untuk menjabarkan, bahkan jika itu hanya dari berasal dari satu ayat. Setelah berhasil menyelesaikan satu bahasan materi lengkap, dia akan senang hati memperlihatkannya, bahkan mencoba menarasikan pengembangan-pengembangan dari setiap poin yang dituliskan. Sayangnya, kreasi-kreasi itu diakuinya hilang entah kemana saat dirinya punya hasrat mengabadikan dalam buku tercetak sebagai tuntutan saat dirinya telah terdaulat menjadi dosen. Meskipun begitu, dampak besar dari usahanya itu adalah kelihaiannya menyampaikan berbagai materi dalam perkuliahan, ceramah ataupun dakwahnya di berbagai tempat, meskipun dalam kondisi yang mendesak dan mendadak, secara terstruktur. Setiap usaha seseorang memang tidak akan ada yang sia-sia jika ia mahir mengelola dan mengambil pelajaran darinya.


Pun untuk tidak dilupakan. Di saat pandemi covid-19 berlangsung. Di kala karantina berbagai kegiatan diterapkan. Ustadz Mukhlis tidak sungkan-sungkan untuk belajar dari awal bagaimana teknik dan strategi untuk tampil dan menampilkan sajian-sajian pengetahuannya di dunia virtual. Channel-nya Dhiya al-Haqq telah menampilkan 21 video dirinya yang, menurut pengakuannya sendiri adalah kerjaannya mandiri, dari rumah sendiri, shooting sendiri, editing sendiri, dan upload sendiri. Begitulah bagi orang yang bergairah dengan ilmu. Tidak beralasan dengan umurnya. Tidak berargumen dengan keterbatasan sarananya. Baginya, menyampaikan ilmu adalah bentuk kesyukuran atas ilmu yang didapatkan.


Lalu, Besarkanlah Orang di Sekelilingmu!


Masih terngiang rasanya di beberapa waktu duduk bersama Ustadz Mukhlis, dirinya sering berujar, “Saya yakin, dari forum inilah orang-orang besar yang punya kompetensi lahir.” Terkesan bercanda ketika menyampaikan, tetapi serius dan terus didengungkannya bahkan dalam keseharian. Ia, sepengetahuan penulis, terkait dengan itu punya seorang mahasiswa yang dibesarkan perannya dengan memintanya secara langsung mengajarkan ngaji anak pertamanya. Ia pun sering mendorong mahasiswa untuk rekaman di Radio Republik Indonesia (RRI), wadah dirinya juga menyampaikan nilai-nilai dakwah Al-Quran bersama komunitasnya, meskipun belum seorang pun yang menyahut. Beberapa dosen dan rekan alumni yang kemudian mendapat jalan untuk menjadi pengisi di siaran tersebut. Maka begitulah kiranya orang yang besar jiwanya; membesarkan jiwa orang-orang yang berada di sekelilingnya.


Terkait itu pula, STIT Ar-Raudlatul Hasanah Medan sebagai lembaga tempatnya beraktivitas mempunyai satu program yang diinisiasi dan dikawalnya, yaitu ujian kompetensi berbahasa Arab. Mengenai ini, konsep pelaksanaan, materi ujian hingga bagaimana ketentuan lulus, didesain olehnya. Ia sangat mengerti bahwa kompetensi yang dituntut program ini sangat penting lagi bermanfaat untuk dimiliki mahasantri-mahasantriwati, apalagi terkait proyeksi mereka ke depan yang akan menjadi guru, ustadz, pengelola dan pengurus pesantren. Ia mengkreasi pola ujian yang tidak hanya untuk memahami teks tetapi cakap dan mampu memahami konteks bahasa Arab. Tarkib al-Nushus dan Istima’ al-Hiwar menjadi dua bagian besar materi yang diujikan. Untuk kepentingan itu, orang-orang pilihannya diajak untuk rekaman bersama, berkontribusi sama-sama, untuk kepentingan jariyah yang tentu bertahan lama.


Hingga di rapat terakhir yang diikuti olehnya, kami bersepakat untuk melaksanakan beberapa program yang berguna sebagai pintu yang memberhasilkan mahasantri-mahasantriwati mengikuti ujian kompetensi bahasa Arab tersebut, yaitu kajian bahasa Arab yang diwajibkan untuk setiap mereka yang dituntut untuk ujian. Ia pun pernah punya niat bagaimana melobi native speaker yang hadir di kampus-kampus besar, langsung dari negaranya di Timur Tengah, hadir pula di kampus ini. Sungguh besar gagasan yang diimpikannya, sebesar pesan yang ditangkap dari darinya agar memberi peran sebanyak-banyaknya untuk orang banyak. Bagian mereka, sampaikanlah. Bagian diri sendiri, syukurilah.


Totalitas Berdakwah Hingga di Penghujung Hayat


Tidak lengkap rasanya untuk mengenang H. Mukhlis Mubarrok Dalimunthe, Lc., M.S.I tanpa membicarakan bagaimana kiprah dakwahnya. Tidak hanya forum-forum pengajian di masjid, beliaupun sepengetahuan kami mengisi di lembaga permasyarakatan (LAPAS), kajian-kajian perumahan hingga kerohanian mahasiswa. Rutinitas dakwahnya cukup padat hingga-hingga dapat dikatakan jika tidak sedang mengajar, beliau berdakwah. Jika sedang tidak mengajar dan berdakwah, beliau berdiskusi untuk mendalami apa yang akan diajarkan dan didakwahkan. Itulah bentuk totalitas beliau di dunia pendidikan, bahkan hingga di penghujung hayat pun, beliau menyempatkan untuk tampil menyampaikan khutbah Idul Adha, Ahad 10/07/2022, lima hari sebelum hembusan terakhir nafasnya di muka bumi ini.


Demikian itulah kiranya potongan kenang-kenangan yang begitu membekas bagi penulis dari dirinya. Rasul bersabda, kematian seorang alim memang menjadi musibah dan kekosongan yang tak akan tergantikan ataupun tertambal. Pelipur lara yang dapat dijadikan kenangan -meski tidak dicukupkan pada tiga nasihat ini; mesti didalami dalam renungan; bagaimana belajar itu mesti dengan ghirah dan gairah, bagaimana belajar itu seharusnya berdampak pada kebesaran hati dan jiwa orang-orang di sekelilingnya dan bagaimana melakukan pengajaran ataupun dakwah secara totalitas bahkan hingga di penghujung hayat. Allahumma ighfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.